Gue pernah didorong, diteriakin, dieksploitasi, bahkan pernah hampir diperkosa ama employer.
Yakin masih kepengen kerja di Australia??? Baca deh memoir ini sampai selesai biar gak mengalami ngerinya kerja di Melbourne
 



November 2017, Melbourne 

Tiga hari dramatis pertama di Melbourne sudah aku lewati. Cuacanya ekstrem dibandingkan dengan Indonesia. Suhu saat itu kisaran 10°C, dingin disertai hujan. 

Salah satu sudut kota Melbourne yang selalu aku lewati untuk melamar pekerjaan dengan Tram gratisan (Free Tram Zone)

Akhirnya aku pindah ke apartemen. Aku bersama beberapa housemates dari berbagai negara. Rasanya menyenangkan sekali bertemu orang baru dengan beragam karakter. Akhirnya bisa settle, unpack koper, hunting job, dan masak makanan yang proper. 

Rasanya happy luar biasa karena di minggu pertama aku mendapatkan pekerjaan di sebelah Melbourne Utara. Semi fine dining restaurant tapi di hotel. Pekerjaan ini aku dapat dari grup WHV Melbourne, dan lucky karena aku mendapatkan rate yang lumayan tinggi untuk di Melbourne. 

Hari pertama aku di trial oleh orang Indonesia. Sebut saja nama beliau Lisa, sulit ditebak kisaran usia berapa karena berwajah oriental membuatnya awet muda. Beliau tampak sangat cekatan dan cerdas dalam melakukan pekerjaannya. Beliau sabar banget men-trial aku. Tapi salahnya disaat itu aku tidak jujur dengan kakak yang meng-hire aku. Aku bilang bahwa aku punya pengalaman sebagai dishwasher. Memang aku punya pengalaman cuci piring di katering ibu aku, tetapi yang kami punya cuci piring manual. Tidak punya mesin dishwasher. 

Karena dianggap punya pengalaman, kak Lisa mengajariku seperlunya saja seperti step buka dan tutup restoran. Hanya 1 kali diajari dan aku sudah harus dilepas karena beliau pulang ke Indonesia. Aku panik dong. 

Restoran ini terletak di sudut jalan. Tampak mewah, retro, berarsitektur Eropa. Pegawainya ada 1 orang sebagai waitress, 2 orang chef, dan 1 kitchen hand merangkap dishwasher. Menu-menu yang ditawarkan adalah menu-menu western elite yang tidak pernah dinikmati orang-orang seperti aku. Dibanderol dengan harga AU$ 16 hingga lebih dari AU $40. 

Rak piring di restoran ini tinggi sekali, dan aku mengakalinya dengan  menggunakan batu bata sebagai pijakan untuk menaruhnya ke atas. Menurut owner-nya yang sekaligus merangkap sebagai manajer pijakan ini berbahaya dan jika ada inspeksi itu akan menjadi penilaian jelek untuk restoran. 
Contoh Sandal Hiking yang tidak diperkenankan digunakan di Kitchen

Sepatu murah yang tidak melindungi kaki saat bekerja

Aku juga mengenakan sepatu murah seharga AU $3.5 dan itu sangat tidak nyaman. Sepatu ini membuat kakiku lecet, memperlambat pergerakan dan membuatku menjadi sedikit pincang. Sampai akhirnya aku menggunakan sandal hiking. Aku mendapat teguran keras dan semua yang ada di restoran itu seperti chef dan waitress-nya melihatku.


Aku dinilai buruk oleh owner restoran. Beliau bernama Jill, usia kisaran 55-60 tahun, masih pekerja keras meskipun penuaan memperlambat kinestetik beliau. Awal-awal aku kira beliau hanya pegawai yang dituakan atau customer setia yang duduk di restoran ini cukup lama.



Interaksiku dengan beliau hanya dua kali, ketika beliau tanpa tedeng aling-aling melarangku menggunakan batu bata untuk pijakan serta mengusirku dari dapur untuk mengganti sandal hikingku dan lainnya akan kamu ketahui di akhir cerita ini.


Aku pikir wajar hari kedua aku tidak segesit chef dan masih ragu-ragu dalam bekerja. Karena butuh waktu untuk adaptasi dan memahami job disini. Chef disini sangat meng-encourage bahwa aku pasti bisa menguasai skill dan bekerja lebih efisien. Hari berikutnya aku bertanya kepada Manajer jam berapa sebaiknya aku datang, Jill tidak jawab apa-apa. Akhirnya 15 menit sebelum shiftku mulai, dia sms aku "Dont bother to come, I will train someone today.” 

Aku tanyakan isi sms ini ke housemates orang Australia, Rosie. Ia housemate yang paling friendly, reliable, dan keibuan. Ia selalu menyapa siapapun yang ada di apartemen dan pasti berpartisipasi dalam kegiatan apapun. Ia mengernyitkan dahi ketika menyampaikan maksud dari SMS ini. Dengan iba ia mengatakan bahwa aku dipecat kemudian kami sepakat dia membalaskan smsku kepada manajerku
  
"Dari balasan Anda artinya Anda tidak membutuhkan saya lagi yang mana dengan ini saya berhenti dari pekerjaan ini. Tetapi sudah sepantasnya saya mendapatkan bayaran selama 2 hari bekerja di tempat Anda."

Bagusnya Jill adalah beliau fair dan membayarkan gajiku sesuai jam yang aku kerjakan. Ketika aku menjemput rezeki,  manajerku berkata, “I need someone who has better English”. Setelah itu aku salami beliau dan mengucapkan terimakasih. Inilah interaksi kedua sekaligus interaksi terakhirku dengan Jill.

Aku tertunduk menerima amplop putih itu. Tanpa sedikitpun Jill melihat kearahku, aku berharap tergerak hatinya untuk mempertahankanku. Sekali lagi aku menoleh kearahnya, Jill kembali duduk dengan customernya yang tadi aku interupsi percakapannya seperti tidak ada hal besar terjadi. Padahal dia baru saja memecat seseorang yang baru mendarat di Australia, mantan dosen kebidanan di salah satu universitas terbaik di Kalimantan Selatan yang meninggalkan seragam kebesarannya membawa mimpi besarnya untuk menjadi salah satu staff di restoran megah ini.

Barangkali perasaan aku yang paling sedih yang pernah aku rasakan selama hidup. Karena ini pertama kalinya aku dipecat karena sesuatu yang tidak jelas. Aku harus berdamai bahwa saat itu aku memang belum mengerti bagaimana melakoni pekerjaan ini. Belum belajar bagaimana bekerja cerdas sehingga waktu, tenaga, dan chemical yang dihabiskan sangat efektif dan efisien. Serta, belum tahu cara berkomunikasi yang baik dengan atasan dan rekan kerja.

Beberapa hari setelah kejadian ini aku tetap menyebarkan resume di tengah-tengah kota Melbourne hingga inner suburb. Aku masih tertunduk lesu melintasi angkuhnya The Greatest City in The World : Melbourne. Dari dia aku belajar bahwa kota terbaik di dunia memang menyajikan wajah terbaiknya, tetapi ada wajah lain yang membuatku membenci Melbourne karena aku bersaing dengan student dan pekerja gelap datang sebagai turis yang sama-sama terseok-seok untuk  survive

South Yarra Train Station: Pertama kalinya menggunakan system transportation terbaik dunia

Aku hangout dengan teman-teman dari Indonesia yang lebih beruntung. Mereka lebih dahulu tahu taktik menguasai Melbourne dan mendapatkan pekerjaan. Aku ceritakan pengalamanku ketika dipecat tanpa tahu persis apa kesalahanku. Kutunjukan isi chat-ku dengan Jill. Salah satu temanku mengira bahwa terjadi kesalahpahaman antara aku, Rosie, dan Jill.

Menurut temanku yang dimasa depan menjadi sahabat karibku, kira-kira aku salah paham bahwa maksud Jill sebenarnya aku tidak dipecat, hanya lagi tidak mendapat roster atau jadwal shift saat itu. Tetapi aku keburu ambil aksi dengan meng-sms manajerku. 

Kiranya ada manajer atau pemilik bisnis yang membaca tulisan ini, ada baiknya memperlakukan pekerja dengan menanggapi pertanyaan dengan jelas. Terutama jika bahasa utama pekerja tidak sama dengan bahasa pemilik bisnis. Karena kita tidak pernah tahu cerita dibalik bagaimana orang ini bisa sampai melamar perusahaan Anda.

Banyak hal yang menjadi pelajaran untuk teman-teman yang membaca jurnal perjalananku, mengendalikan ego adalah hal utama jika ingin belajar hal baru. Aku melupakan pendidikan masterku, dan menjadi gelas kosong agar dapat menyerap pembelajaran dari universitas terbaik dunia, universitas kehidupan. Selain itu, : Jujur merupakan value yang tidak akan merendahkan si Pengaku. Tidak buru-buru dalam mengambil tindakan akan menuntun kepada jalan yang paling tepat. Serta sepatu adalah investasi terbaik untuk memproteksi diri dalam bekerja.

Semoga bermanfaat, 
Cheap n Travel